Selasa, 08 Juni 2010

Kitab suci menjadi dasar dari keimanan ketiga agama Semitik: Yahudi—Kristen—Islam, bahkan bagi

agama-agama lain yang ada. Sebab, kitab suci memuat ajaran-ajaran para perintis agama-agama tersebut,

serta tokoh-tokoh penting yang turut berpengaruh dalam terbentuknya suatu agama.

Bagi umat Yahudi, kitab Tanakh memuat hukum-hukum serta prinsip-prinsip dasar iman Yahudi yang mereka

sebut Torah (Taurat), sebagai ajaran Nabi Moses (Musa), selaku nabi utama umat Yahudi, Namun taurat

musa pada masa itu sudah dicampur adukan dengan ide-ide para pendeta zionis yang menobatkan dirinya

sendiri sebagai rabbi sehingga taurat kini sudah tidak ada yang asli lagi, layaknya kitab injil perjanjian baru

yang sudah banyak editan dan revisi oleh pendeta yahudi yang berstatus Nasrani/kristen. sebagaimana

tercantum dalam 13 Prinsip Iman Yudaisme yang dibuat oleh Rabbi Maimun ben Moshe (R. Maimonides).

Selain itu, Tanakh juga berisi kumpulan ajaran para nabi (Nevi’im) serta kumpulan tulisan-tulisan sastra para

leluhur Israel (Kethuvim). Kesemuanya itu menjadi landasan iman umat Yahudi, yang kemudian ditafsirkan

oleh para rabbi mula-mula, dan melahirkan kitab Talmud, sebagai kitab sekunder umat Yahudi.

Bagi umat Kristen, Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) memuat ajaran-ajaran dasar para nabi,

terutama ajaran Yesus Kristus, serta ajaran para rasul.

sehingga Tokoh Yahudi Zionis tertua yang mengatas namakan pernah menjadi murid yesus/isa as dan mengatas namakan dirinya adalah seorang kristen yang faseh,  menjadi perintis lahirnya kekristenan sekaligus sebagai kepala gereja. Sementara para  murid-murid Kristus yang menerima langsung ajaran dari Kristus. Merekalah yang merintis berdirinya jemaat mula-mula dan meletakkan dasar-dasar iman Kristen.

Bagi umat Islam, al-Qur’an memuat ajaran para nabi dan terutama ajaran Nabi Muhammad, yang adalah perintis agama Islam.

Nabi Muhammad tidak saja menjadi perintis bagi Islam, tapi juga sebagai teladan hidup, sehingga setiap perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad harus diteladani oleh orang-orang Islam. Teladan sang nabi itu dimuat dalam bentuk kumpulan catatan para sahabatnya serta para penulis Islam mula-mula dalam bentuk al-Hadits.

Lalu, apakah yang membedakan pandangan ketiga agama ini terhadap kitab sucinya?

Kitab Suci Yahudi

Kitab suci utama umat Yahudi adalah “תַּנַ"ךְ” (Tanakh), yang merupakan singkatan dari tiga bagian kitab itu: Tora (Taurat), Nevi’im (Kitab Para Nabi) dan Kethuvim (Tulisan-tulisan). Tanakh juga dikenal dengan sebutan “מקרא” (Miqra), yang artinya “bacaan.” Sebutan ini masih digunakan di kalangan Yahudi modern.

Di kalangan Yahudi, terdapat dua sudut pandang terhadap Tanakh. Sudut pandang pertama disebut sudut pandang klasik, yang menganggap bahwa Tanakh berasal dari TUHAN. Sementara, sudut pandang kedua mengatakan bahwa Tanakh adalah buatan manusia. Kedua sudut pandang ini dijembatani oleh sudut pandang lain yang mengatakan bahwa Tanakh ditulis oleh para nabi atas inspirasi dari TUHAN.

Setidaknya ada tiga kelompok besar dalam Yahudi yang memiliki sudut pandang berbeda dengan Tanakh, khususnya Tora (Taurat):

Pertama, Kaum Yahudi Rabbinik dan Yahudi Ortodoks. Mereka percaya bahwa Tora adalah wahyu yang diberikan oleh TUHAN kepada Musa di Gunung Sinai. Tora ini diyakini tidak pernah mengalami perubahan sebagaimana dituliskan oleh R. Maimonides dalam prinsip ketiga dari 13 Pinsip Iman Yudaisme, “Kita tidak tahu persis bagaimana Tora diberikan kepada Musa, tapi, ketika itu diberikan, Musa menuliskannya seperti seorang juru tulis yang didikte... setiap ayat dalam Tora adalah kudus, sebab mereka berasal dari TUHAN, dan semua bagian dari Tora TUHAN, adalah sempurna, kudus dan benar.”

Selain mewahyukan kitab Tora, TUHAN juga mewahyukan Tora Lisan, yang kemudian dinyatakan melalui para nabi, rabbi dan para teolog Yahudi. Bagi orang-orang Yahudi Kharedi atau yang umum dikenal dengan sebutan Yahudi Ultra-Ortodoks, apa yang dinyatakan kepada para rabbi Yahudi pun dianggap sebagai wahyu TUHAN. Sementara, bagi kaum Yahudi Ortodoks modern, penyataan para rabbi dianggap memiliki kemungkinan adanya human error.

Kedua, Kaum Yahudi Konservatif. Bagi mereka kitab Tora dan Tora Lisan tidaklah diwahyukan secara verbal, tetapi disusun oleh para redaktur melalui suatu metode tertentu yang mirip dengan “Hipotesis Dokumenter” di kalangan Kristen. Meski demikian, kaum Yahudi Konservatif percaya bahwa para penulis mendapatkan inspirasi dari TUHAN. Bagi kaum ini, ada yang memahami bahwa inspirasi ilahi itu bersifat utuh dan otoritatif, misalkan pandangan David Weiss HaLivni, tetapi ada juga yang menganggap bahwa terdapat human error dalam proses peredaksian itu.

Ketiga, Kaum Yahudi Progresif, Reform dan Rekonstruksionis. Mereka cenderung mengikuti Hipotesis Dokumenter yang dikembangkan oleh para penafsir Perjanjian Lama Kristen abad ke-19. Mereka percaya bahwa Tora tidaklah diwahyukan TUHAN secara langsung, tetapi dituliskan oleh manusia, dimana di dalamnya telah diikuti dengan pemahaman dan pengalaman manusia dalam menjawab apa yang TUHAN inginkan dari manusia. Mereka percaya bahwa meskipun Tora mengandung banyak sekali kebenaran inti mengenai TUHAN dan manusia, tetapi di dalamnya juga terdapat kekeliruan, sebab TUHAN menyatakan pesan-pesan-NYA melalui interaksi dengan manusia dan sejarah. Karena itu, Tora dianggap sebagai suatu bagian penting, tetapi hanya sebagian, dari keseluruhan wahyu.

Mengenai kitab-kitab Nevi’im, diyakini sebagai kebenaran, tetapi tidak bisa dibaca secara harafiah, sebab kitab-kitab ini berisi metafora-metafora dan analogi-analogi. Apa yang diinspirasikan TUHAN kepada para nabi harus ditafsirkan ulang oleh pembaca agar menemukan pesan utamanya.

Kaum Yahudi Konservatif bahkan menganggap Nevi’m sebagai peristiwa, bukan proses. Jadi, bagi mereka, apa yang dinyatakan kepada para nabi pada waktu itu adalah menyangkut hal-hal yang terjadi saat itu saja.

Kitab Suci Kristen

Tidak ada sebutan khusus bagi kitab suci orang Kristen. Dalam Bahasa Inggris, kitab suci orang Kristen disebut “Bible,” sementara dalam Bahasa Indonesia menggunakan istilah yang diadopsi dari Bahasa Arab, “Alkitab.” Ada juga yang menggunakan istilah “Bibel” dan “Kitab Suci.”

Kitab Suci orang Kristen terdiri dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Istilah “perjanjian” diterjemahkan dari kata “testamentum” dalam Bahasa Latin, yang artinya “wasiat.” Orang pertama yang menggagas digunakannya istilah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah Melito (†180), seorang uskup dari Sardis, dekat Smirna.

Pada dasarnya, yang disebut Perjanjian Lama adalah kumpulan kitab yang sama dengan Tanakh Yahudi, hanya saja, urutan kitabnya berbeda. Perjanjian Lama mengikuti urutan kitab berdasarkan Septuaginta (LXX), sedangkan Tanakh disusun berdasarkan pembagian Tora—Nevi’im—Kethuvim.

Meskipun Gereja Protestan mengikuti urutan yang sama dengan Gereja Katolik dan Ortodoks, yaitu berdasarkan urutan Septuaginta, tapi, jumlah kitab Perjanjian Lama Protestan tidak sama dengan jumlah kitab Perjanjian Lama Katolik dan Ortodoks. Perbedaan ini terdapat pada pengakuan terhadap kitab-kitab yang disebut Deutero-Kanonik di kalangan Katolik, yang meliputi: Tobit, Yudit, Kebijaksanaan, Barukh, 1 dan 2 Makabbe, tambahan pada kitab Ester, Sirakh, tambahan pada kitab Daniel (Doa Azaria, Kitab Susanna serta Kitab Bel dan Naga). Di kalangan Gereja Protestan, kitab-kitab tersebut dimasukkan dalam kelompok Apokrif.

Di kalangan Gereja Ortodoks, terdapat juga kitab 1 dan 2 Esdras, 3 Makabbe, Odes, Surat Yeremia (pasal 6 dalam kitab Barukh Katolik) dan Doa Manasye. Sementara dalam versi Syria, terdapat kitab 2 Barukh.

Kekristenan meyakini bahwa kitab suci adalah ilham TUHAN. Hanya saja, terdapat perbedaan sudut pandang mengenai cara pengilhaman tersebut. Setidaknya ada empat pandangan yang umum dalam kekristenan mengenai cara pengilhaman tersebut:

1. Pengilhaman Mekanis atau Dikte

Pandangan ini mengatakan bahwa alkitab diilhamkan secara harafiah oleh TUHAN dan manusia hanya menuliskannya. Menurut pandangan ini, manusia hanya berfungsi seperti mesin (mekanik), yang menuliskan apa yang ia terima.

Pandangan ini digunakan oleh mereka yang percaya bahwa alkitab adalah harafiah dari TUHAN, sehingga alkitab menjadi seperti wahyu, sebagaimana pandangan al-Qur’an.

Pandangan ini sulit diterima, terutama karena fakta menunjukkan bahwa ada sejumlah bagian dalam alkitab yang ternyata keliru dalam penulisan (misalnya urutan dalam Mat. 4:1-11 dan Luk. 4:1-13). Padahal, kita mengamini bahwa TUHAN tidak mungkin salah.

2. Pengilhaman Negatif atau Pasif

Pandangan ini mengatakan bahwa alkitab ditulis oleh manusia. Namun, para penulis alkitab dijaga oleh Roh Kudus, sehingga mereka tidak mungkin tersesat. Pandangan ini pernah digunakan oleh Gereja Katolik.

Kesulitan menerima pandangan ini adalah apakah Roh Kudus memungkinkan masuknya pendapat pribadi ke dalam alkitab? Jika pandangan ini mengatakan bahwa Roh Kudus “tidak memungkinkan” masuknya pendapat pribadi, maka pandangan ini sulit diterima. Sebab, misalnya dalam 1Kor. 7:12 Paulus memasukkan pandangan pribadi.

3. Pengilhaman Dinamis

Pandangan ini mengatakan bahwa hati para penulis diperbarui oleh Roh Kudus, sehingga mereka mendapat karunia ketika menuliskan alkitab.

Dalam proses pembaruan itu manusia menuliskan ilham menurut sudut pandangnya. Ada proses interpretasi yang dinamis dalam diri manusia ketika menerjemahkan ilham. Namun, dominasi kekuatan Roh Kudus lebih kuat.

Pandangan ini dipopulerkan oleh Schleiermacher. Pandangan ini mungkin bisa diterima. Hanya saja yang tidak dijawab oleh pandangan ini adalah, apakah ada pandangan penulis yang masuk ke dalam alkitab?

4. Pengilhaman Organis

Pandangan ini mengatakan bahwa penulis adalah alat yang digunakan oleh TUHAN. Ada proses interpretasi di dalamnya, dimana kekuatan Roh Kudus tidak sedominan pengilhaman dinamis.

Karena itu, menurut pandangan ini, kita dapat membedakan antara pandangan penulis dengan perkataan TUHAN dalam tulisannya.

Kitab Suci Islam

Kitab suci utama umat Islam adalah “القرآن‎” (al-Qur’ān), yang artinya “bacaan.” Al-Qur’ān diyakini sebagai kitab yang memberikan bimbingan dan arahan bagi umat manusia. Kitab suci ini diyakini secara umum di kalangan Islam sebagai teks yang diwahyukan terakhir oleh TUHAN kepada manusia.

Al-Qur’ān diwahyukan TUHAN melalui perantaraan Malaikat Jibrīl (Gabriel) selama kurang lebih 23 tahun sejak tahun 610 M, kepada Nabi Muhammad, ketika ia berumur 40 tahun. Pewahyuan al-Qur’ān berakhir pada tahun 632 M, ketika Muhammad wafat.

Al-Qur’ān diyakini dituliskan oleh para sahabat Muhammad ketika sang nabi masih hidup. Penulisan itu sendiri diyakini selesai tak lama setelah Muhammad wafat atas perintah khalifah Abu Bakr dan Umar. Meski demikian, penyusunan al-Qur’ān baru selesai pada masa Usman, yang kemudian dikenal dengan nama “mus’haf Usmani.”

Al-Qur’ān juga dianggap sebagai nubuat utama Muhammad sebagai bukti atas kenabiannya sekaligus sebagai kulminasi atas serangkaian pesan-pesan ilahi.

Banyak narasi dalam al-Qur’ān yang memiliki kemiripan dengan narasi-narasi dalam Tanakh Yahudi dan kitab suci Kristen, khususnya Injil. Namun, narasi-narasi itu tidak disajikan utuh seperti dalam Tanakh ataupun Injil.

Pandangan Islam terhadap al-Qur’ān nyaris seragam, yaitu sebagai wahyu yang didiktekan TUHAN kepada Muhammad. Hanya saja, belakangan ini mulai berkembang studi-studi kritis atas al-Qur’ān, terutama di kalangan penafsir modern, misalkan tafsir Taufik Adnan Amal di Indonesia.

Hanya saja, karena kesakralannya, tafsir kritis semacam ini cenderung dijauhi oleh para penafsir Islam. Apalagi tafsiran mereka kerap dituduh sebagai bentuk pelecehan terhadap al-Qur’ān itu sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda